Laman

Kamis, 09 Agustus 2012

Hidup Bagaikan Segenggam Garam di Dalam Air


Alkisah, ada seorang pemuda yang berwajah murung akhir-akhir ini. Ia mengerjakan segala sesuatu dengan gelisah dan tidak bersemangat, seakan banyak masalah yang ada di pikirannya. Gurunya yang bijaksana, memperhatikan kelakuan si pemuda dan mengajaknya berbicara. “Bapak perhatikan, kamu selalu murung. Bukankah banyak hal indah di kehidupan ini? Ke mana perginya wajah ceria dan bersemangat kepunyaanmu dulu?”
“Guru, belakangan ini hidup saya sedang penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang tidak ada habis-habisnya. Serasa tak ada lagi sisa untuk kegembiraan,” jawab pemuda itu sambil tertunduk lesu. Sambil tersenyum, sang guru berkata,”Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam di dapur. Bawalah kemari. Biar bapak coba perbaiki suasana hatimu itu.” Pemuda itu pun bergegas melakukan permintaan gurunya sambil berharap dalam hati mudah-mudahan gurunya memberi jalan keluar bagi permasalahan hidupnya.
Setelah itu, sang guru berkata, “Ambil garamnya dan masukkan ke segelas air itu, kemudian aduk dan coba kamu minum.” Wajah si pemuda langsung meringis setelah meminum air asin tersebut. “Bagaimana rasanya?” tanya sang guru dengan senyum lebar di bibirnya. “Asin, tidak enak, dan perutku jadi mual,” jawab si pemuda. Kemudian sang guru membawa muridnya itu ke sebuah danau di dekat tempat mereka. Danau itu begitu indah dan airnya bening karena sumber air alam yang selalu mengairi di situ. “Ambil air garam dan garam yang tersisa dan tebarkan ke danau,” perintah sang guru. Si pemuda dengan patuh memenuhi permintaan gurunya. “Sekarang, coba kamu minum sedikit air danau itu”. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan meminumnya.
“Bagaimana rasanya? Terasakah garam yang kamu tebarkan tadi?”“Segar sekali,” jawab si pemuda sambil mengambil air dan meminumnya lagi. “Tidak ada rasa asin sama sekali!” Gurunya kemudian berkata, “Nak, segala masalah dalam hidup ini sama seperti segenggam garam. Tidak kurang tidak lebih! Rasa ‘asin’ sama seperti masalah, kesulitan, penderitaan yang dialami setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan dan penderitaan. Benar kan? Perlu kamu ketahui, berapa banyak rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami setiap manusia sesungguhnya tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Maka, jangan memiliki kesempitan hati seperti gelas tadi! Jadikan hatimu sebesar danau sehingga semua kesulitanmu tidak akan mengganggu rasa di jiwamu dan kamu tetap bisa bergembira walaupun sedang dilanda masalah. Nah, mudah-mudahan penjelasan gurumu ini bisa memperbaiki suasana hatimu.”
Pembaca yang Budiman, Seorang filsuf besar pernah berkata “Life is suffering. Hidup adalah penderitaan”. Memang, pada kenyataannya, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, membuat kita menderita. Kadar penderitaan setiap orang tentu berbeda. Semuanya tergantung dari cara pandang dan keikhlasan kita dalam menyesuaikan dengan selera kita. Maka selayaknya kita harus terus belajar dan memperluas wawasan kebijaksanaan, agar jangan samapai masalah yang menguasai kita. Tetapi kitalah yang mengendalikan masalah. Sehingga, masalah yang datang bukan lagi dipandang sebagai penderitaan, tetapi bagian dari kehidupan yang harus kita jalani.

Rencana Tuhan – SMS nyasar


 “Maaf salah sambung”. SMS itu masuk beberapa saat setelah saya mengirim SMS untuk seorang teman. Jawaban yang saya terima dari teman itu membuat saya bertanya-tanya. Mengapa teman saya mengatakan salah sambung?
Merasa tidak enak, saya mengirim SMS lagi untuk menyatakan permintaan maaf. Lalu saya cantumkan nama saya di akhir SMS dengan harapan jika itu benar nomor telepon teman saya, maka dia akan menyadari yang mengirim SMS tadi itu saya. Tak lama kemudian handphone saya berdering. Di layar muncul nomor teman saya. “Maaf Pak Andy, nama saya Wahidin. Saya bekerja di Imigrasi,” ujar suara di seberang sana. Ternyata nomor tersebut memang bukan nomor telepon teman saya. Setelah sedikit berbasa-basi saya meminta maaf lalu menutup pembicaraan.
Tidak ada yang istimewa dari peristiwa itu. Saya hanya heran mengapa bisa salah mencatat nomor telepon teman. Tapi sebulan kemudian saya mendapat SMS dari Pak Wahidin. Setelah mengingatkan bahwa SMS saya pernah nyasar ke handphone-nya, dia kemudian menginformasikan di sebuah desa di Subang ada seorang anak, usianya 9 tahun, yang selama ini menanggung derita karena mengalami kelainan di tubuhnya. Anak itu tidak punya anus. Kalau buang air besar melalui kemaluannya. “Mungkin Pak Andy bisa membantu,” tulis Pak Wahidin sembari menyertakan nama, alamat, dan nomor kontak anak tersebut.
Saya bilang saya tidak berjanji, tetapi akan berusaha mencari orang yang bisa membantu anak tersebut. Setelah itu, saya mengirim kisah anak tersebut via SMS ke seorang pimpinan sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Esoknya saya mendapat jawaban, “Pak Andy, saya masih di Italia. Bisakah saya dapatkan data lebih lengkap dari anak itu? Sesampai di Jakarta akan saya diskusikan dengan tim dokter.”
Dua minggu kemudian, tim Kick Andy sudah menjemput anak tersebut dan membawanya ke Jakarta. Pihak rumah sakit setuju untuk melakukan operasi. Untuk tahap pertama, akan dibuatkan “lubang pembuangan” di perut. Setelah itu baru dibuatkan anus untuk pembuangan permanen.
Tiga hari kemudian, saya menerima SMS dari pimpinan rumah sakit tersebut. “Alhamdulilah operasi berjalan baik. Semoga semuanya berjalan sesuai rencana”. Sejenak saya terhenyak membaca SMS tersebut. Ada rasa haru yang memenuhi relung hati. “Tuhan, terima kasih,” gumam saya dalam hati. Sungguh saya tidak menyangka semua berjalan begitu cepat dan lancar. Bahkan pihak rumah sakit memperlakukan Ani sangat istimewa. Semua kebutuhan Ani dan ayahnya selama di Jakarta semuanya ditanggung rumah sakit.
Malamnya saya merenung. Ah, kalau dipikir seringkali rencana Tuhan sulit dipahami akal manusia. Termasuk sulit bagi saya memahami mengapa saya salah mencatat nomor handphone teman saya. Sulit memahami mengapa Pak Wahidin yang saya kenal gara-gara salah sambung menginformaskan kondisi seorang anak nun jauh di sebuah desa
kecil di Subang yang membutuhkan pertolongan. Juga sulit dipahami oleh akal manusia respon rumah sakit yang bersedia melakukan operasi gratis. Padahal, operasi semacam itu tentu membutuhkan biaya yang besar. Pimpinan rumah sakit itupun baru saya kenal dan kami baru sekali bertemu.
Akal manusia memang tidak akan pernah mampu mencerna rencana Tuhan. Rencana Tuhan hanya mampu dicerna melalui iman. Karena itu saya meyakini semua yang terjadi itu bukan sesuatu yang kebetulan. Sejak saya salah mencatat nomor telepon teman, sebenarnya Tuhan sudah “mengatur” untuk mempertemukan saya dengan Ani. Kemudian melalui SMS “nyasar”, Tuhan menghubungkan saya dengan Pak Wahidin. Melalui Pak Wahidin Tuhan memberi tahu ada seorang anak di Subang yang membutuhkan bantuan. Kemudian Tuhan “memerintahkan” saya untuk menghubungi pimpinan rumah sakit tersebut. Lalu semuanya berakhir dengan operasi oleh tim dokter terhadap Ani.
Sejak awal, Tuhan sudah mengatur semuanya untuk Ani. Pak Wahidin, pimpinan rumah sakit, dokter-dokter yang mengoperasi, dan semua pihak yang ikut membantu — termasuk saya — hanya mendapat “tugas” untuk menolong Ani. Setelah memahami semua itu, saya lalu tersenyum. “Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengikutsertakan aku untuk menjalankan suatu misi mulia.”

SETIAP KEMENANGAN BUTUH KESABARAN

Di suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yg sedang baca koran…


“Ayah, ayah” kata sang anak… “Ada apa?” tanya sang ayah…..


“aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja! aku capek.…


aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…


aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku…


aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka…mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! ..” sang anak mulai menangis…


Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ” anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… lalu sang anak pun mulai mengeluh ” ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah” … sang ayah hanya diam.

Dan akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang…

“Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.

“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya. ” Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah…?”


” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?”

” Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu. Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi… bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga… dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”

” Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ”

” Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat … begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda yang kuat, yang tetap tabah karena ia tahu ada Tuhan di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”

” Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar ” Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya